Tidak hanya secara global dan nasional, pandemi berdampak terhadap multisektor di Nusa Tenggara Barat, termasuk sektor pariwisata dan ekonomi yang tengah bergeliat di masyarakat seperti Usaha Kecil Menengah (UKM). Adalah sector pariwisata yang paling terpukul terhadap efek pandemic Covid-19 saat upaya-upaya pemerintah mendorong pundi-pundi keuangan daerah. Nusa Tenggara Barat yang terkenal dengan keunikan budaya dan keindahan panoramanya harus merelakan turis mancanegara ditutup krannya untuk masuk ke Pulau Seribu Masjid. Hal ini menambah beban masyarakat Bumi Gora khususnya Pulau Lombok setelah diguncang gempa bumi di atas 7 Skala Ritcher, yang otomatis berpengaruh terhadap sektor pariwisata yang tengah bergeliat. Setali tiga uang dengan hotel-hotel di Senggigi dan tiga gili eksotis di Lombok Utara NTB, geliat ekonomi masyarakat seperti UMK harus menghentikan sementara mimpi mereka untuk mendapatkan “cuan” dari usaha-usaha kreatif mereka. Apalagi kran ekspor produk kerajinan lokal pun sempat tersendat akibat pandemic.
Setelah berbagai intervensi Pemerintah Provinsi NTB melalui berbagai upaya yang disertai semangat masyarakat untuk kembali bangkit setelah pandemic Covid-19, geliat ekonomi masyarakat seperti UMKM yang menyokong sektor Parekraf mulai bangkit secara bertahap. Hasilnya, sedikit demi sedikit Pemprov NTB didukung stake holder terkait berhasil memompa semangat UMKM untuk kembali bangkit. Dari aspek regulasi, Provinsi NTB telah memiliki panduan atau peraturan daerah “beli bela produk sendiri” sebagai legitimasi dalam melindungi produk lokal melalui optimalisasi penyerapan produk di pasar lokal. Tentu sangat ironi, jika pada satu sisi pemerintah dan legislative menerbitkan regulasi untuk menjamin penyerapan produk lokal, namun di lain sisi juga membuka kran produk daerah lain untuk membanjiri dan menyaingi produk yang dihasilkan warganya sendiri.
Meminjam data Bank Indonesia, pada kuartal III tahun 2021, ekonomi NTB dapat ditumbuh dari triwulan sebelumnya . Pertumbuhan mencapai 0,50 persen (q-to-q), walaupun pada sisi lain juga tidak siginifkan dan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang juga terdampak pandemic Covid-19. Dari sisi produksi, lapangan usaha industri pengolahan di mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 46,53 persen. Sementara dari sisi pengeluaran, Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 8,60 persen. Hal ini tentu memberikan sisi positif bagi masyarakat untuk terus menggeliatkan berbagai kegiatan kreatif masyarakat yang dapat memberikan andil bagi pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia dan Pemprov NTB juga konsisten menjadi lokomotif dalam mendorong produk lokal untuk terus berdaya saing hingga pasar internasional. Kran ekspor berbagai kerajinan yang telah dibuka beberapa bulan lalu oleh Pemrov NTB hasil kolaborasinya dengan Bank Indonesia harus terus dilanjutkan untuk mewujudkan NTB Gemilang seperti yang menjadi tagline Pemrov NTB. Hal ini tentu membutuhkan subsitusi kebjikan lebih lanjut yang ramah bagi tumbuhnya UMKM/ UKM. Berbagai kegiatan usaha dalam sektor pawisita seperti akomodasi (hotel) harus terus didorong komitmennya dalam menyerap berbagai produk kerajinan lokal seperti souvenir untuk wisatawan domestic. Perhelatan internasional MotoGP harus terus didorong oleh pemerintah daerah agar dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengrajin lokal. Tidak menjadi event yang sia-sia, sebagai pesta para elit di tengah pandemic, sehingga Perda Bela-Beli Produk lokal, tidak sekadar menjadi regulasi untuk menambah koleksi peraturan yang telah dilahirkan pemerintah provinsi bersama legislator. Karena nyatanya masih banyak mereka-mereka yang tak berdaya di antara bangunan hotel di objek primadona wisatawan seperti halnya di Senggigi Lombok Barat. Untuk itu, pemerintah harus menjamin bahwa pariwisata adalah “kue manis” yang berhak dinikmati oleh warga kelas bawah, sebagaimana pemandangan eksotis di Pulau Lombok yang terasa manis bagi para pelancong. Beberapa potensi pariwisata dan ekonomi kreatif di wilayah timur NTB seperti di Pulau Sumbawa harus terus didorong.
Pemerintah daerah harus menyakini bahwa dengan praktik ekonomi ramah lingkungan seperti sektor pariwisata lah massa depan Nusa Tenggara Barat, bukan dari kantong-kantong tambang yang deposit alam akan terus tergerus karena terbatas dan tak dapat diperbarui. Walaupun pada aspek lain sebagiamana pada kwartal III, bijih logam di Bumi Gora memberikan andil bagi ekonomi NTB 0,61 persen (q-to-q), tumbuh 3,07 persen (y-on-y), dan tumbuh 2,45 persen (c-to-c). (*)
Setelah berbagai intervensi Pemerintah Provinsi NTB melalui berbagai upaya yang disertai semangat masyarakat untuk kembali bangkit setelah pandemic Covid-19, geliat ekonomi masyarakat seperti UMKM yang menyokong sektor Parekraf mulai bangkit secara bertahap. Hasilnya, sedikit demi sedikit Pemprov NTB didukung stake holder terkait berhasil memompa semangat UMKM untuk kembali bangkit. Dari aspek regulasi, Provinsi NTB telah memiliki panduan atau peraturan daerah “beli bela produk sendiri” sebagai legitimasi dalam melindungi produk lokal melalui optimalisasi penyerapan produk di pasar lokal. Tentu sangat ironi, jika pada satu sisi pemerintah dan legislative menerbitkan regulasi untuk menjamin penyerapan produk lokal, namun di lain sisi juga membuka kran produk daerah lain untuk membanjiri dan menyaingi produk yang dihasilkan warganya sendiri.
Meminjam data Bank Indonesia, pada kuartal III tahun 2021, ekonomi NTB dapat ditumbuh dari triwulan sebelumnya . Pertumbuhan mencapai 0,50 persen (q-to-q), walaupun pada sisi lain juga tidak siginifkan dan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang juga terdampak pandemic Covid-19. Dari sisi produksi, lapangan usaha industri pengolahan di mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 46,53 persen. Sementara dari sisi pengeluaran, Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 8,60 persen. Hal ini tentu memberikan sisi positif bagi masyarakat untuk terus menggeliatkan berbagai kegiatan kreatif masyarakat yang dapat memberikan andil bagi pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia dan Pemprov NTB juga konsisten menjadi lokomotif dalam mendorong produk lokal untuk terus berdaya saing hingga pasar internasional. Kran ekspor berbagai kerajinan yang telah dibuka beberapa bulan lalu oleh Pemrov NTB hasil kolaborasinya dengan Bank Indonesia harus terus dilanjutkan untuk mewujudkan NTB Gemilang seperti yang menjadi tagline Pemrov NTB. Hal ini tentu membutuhkan subsitusi kebjikan lebih lanjut yang ramah bagi tumbuhnya UMKM/ UKM. Berbagai kegiatan usaha dalam sektor pawisita seperti akomodasi (hotel) harus terus didorong komitmennya dalam menyerap berbagai produk kerajinan lokal seperti souvenir untuk wisatawan domestic. Perhelatan internasional MotoGP harus terus didorong oleh pemerintah daerah agar dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengrajin lokal. Tidak menjadi event yang sia-sia, sebagai pesta para elit di tengah pandemic, sehingga Perda Bela-Beli Produk lokal, tidak sekadar menjadi regulasi untuk menambah koleksi peraturan yang telah dilahirkan pemerintah provinsi bersama legislator. Karena nyatanya masih banyak mereka-mereka yang tak berdaya di antara bangunan hotel di objek primadona wisatawan seperti halnya di Senggigi Lombok Barat. Untuk itu, pemerintah harus menjamin bahwa pariwisata adalah “kue manis” yang berhak dinikmati oleh warga kelas bawah, sebagaimana pemandangan eksotis di Pulau Lombok yang terasa manis bagi para pelancong. Beberapa potensi pariwisata dan ekonomi kreatif di wilayah timur NTB seperti di Pulau Sumbawa harus terus didorong.
Pemerintah daerah harus menyakini bahwa dengan praktik ekonomi ramah lingkungan seperti sektor pariwisata lah massa depan Nusa Tenggara Barat, bukan dari kantong-kantong tambang yang deposit alam akan terus tergerus karena terbatas dan tak dapat diperbarui. Walaupun pada aspek lain sebagiamana pada kwartal III, bijih logam di Bumi Gora memberikan andil bagi ekonomi NTB 0,61 persen (q-to-q), tumbuh 3,07 persen (y-on-y), dan tumbuh 2,45 persen (c-to-c). (*)
Komentar